Seputar Krisis SDM

sdm

Kisah saya awali di minggu pagi ketika kami sekeluarga berkunjung ke toko sepeda untuk service sepeda. Ketika itu yang ada hanya pemilik tokonya saja, lalu saya tanya “Kemana pasukannya, tumben belum pada nongol ” .. tiba tiba entah mau curhat atau hatinya galau , si mpu toko langsung ngoceh “Ah, sekarang saya kerja sendirian, males punya karyawan karena saya saja kerja dari jam 5 pagi sampai jam 12 malam, lha ini karyawan sebulan masuk sebulan libur, dua minggu masuk dua minggu libur, sebenarnya itu yang kaya siapa dan yang butuh uang siapa ” … hehehe, persis, itulah kendala yang kami hadapi sekarang.

Saya mau buka sedikit kenapa kadang orderan di butik ceria cepat selesai dikerjakan dan kadang overload sehingga bisa lambat diterima oleh para customer. Jika misalkan dalam sehari kapasitas produksi kami 400 sprei, sedangkan orderan yang masuk sampai 450 sprei sehari, secara otomatis kami akan punya hutang pekerjaan yang baru bisa kami selesaikan ketika ada jeda di hari minggu alias kerja lembur.

Itu dari sisi kapasitas, sebenarnya bisa saja kami tingkatkan tetapi kendala utamanya adalah menjaga kapasitas kami tetap stabil, jika dalam satu hari seorang penjahit senior bisa menyelesaikan 30 sprei set dan junior 20 sprei set, maka jika ada satu orang saja tidak masuk maka akan sangat mempengaruhi produksi kami. Karakter penjahit sendiri selain berpendidikan rendah juga kurang memiliki rasa tanggung jawab sehingga bisa pulang dan datang kapan saja tanpa bisa dilarang. Apalagi saat ini mencari penjahit tidak mudah.

Kalau bicara SDM, saya pribadi sebenarnya lebih suka yang profesional, berkarakter kuat dan idealis, tetapi di bidang yang kami tekuni ini dengan margin tidak lebih dari 10% kotor, apakah mungkin menggaji karyawan profesional setara dengan staff di Software house. Jadi kita pun harus realistis , dunia yang kita hadapi dengan persaingan harga yang super ketat dan sudah terpatok dengan 2 brand besar sebagai market leader tentunya membuat kami yang baru merintis brand kesulitan menentukan harga diluar itu. Walaupun upah jahit yang kami berikan ke penjahit lebih besar dari harga pasaran penjahit sprei pada umumnya, tetap saja upah tersebut masih jauh dari harga penjahit tailor, apalagi kelas butik, walapun usaha kami bisa disebut butik karena setiap sprei yang diorder akan kami jahit sesuai pesanan, jadi bukan konveksi massal.

Hal ini tentunya berbeda dengan persaingan di busana muslim, banyak toko toko kecil di tanah abang sampai memiliki katalog dan brand ambasador model sendiri , saya coba hitung hitung secara kasar, wajar ya pemain busana muslim bisa memberikan diskon sampai 60% karena dengan diskon sebesar itupun sebenarnya harga produksinya masih jauh dibawah itu . Malah ada temen yang bilang minimal margin 30% sudah untuk super grosir, yang artinya jika dijual retail margin bisa sampai 300% dari harga produksi.

Kami tetap bersyukur usaha kami tetap exist sampai sekarang walaupun dengan margin yang super tipis, karena banyak rekan rekan kami sesama pedagang sprei yang jatuh beberapa tahun yang lalu. Tulisan ini sengaja kami tulis sekaligus untuk menjawab pertanyaan beberapa agen dan distributor kenapa diskon kami tidak bisa sebesar product lain .

Salam Hangat dan Selamat beraktifitas.